RSS

Bioskop Dalam Khayalan


~Aku tersenyum bahagia

Tatkala menghirup nafas
Karena nafas yang kuhirup
Adalah nafas kemerdekaan~

Bukankah kita telah merdeka kawan? Tidak lagi hidup di bawah kaki para penjajah. Bebas melangkah, bebas berkata, bebas melanglangbuana, bebas menggapai cita, bebas berkata apa, bebas sebebas-bebasnya. Iya kan? Bahagia sekali rasanya hidup ini kawan...

Hanya saja, bersediakah engkau duhai kawan, tinggal sejenak di sini. mencoba menggunakan keahlian otak kita. Tuk sekedar memutar kembali drama kehidupan yang terekam sempurna dalam sejarah bumi tempat kita berpijak. Ya, anggap saja kita tengah duduk berdampingan dalam sebuah bioskop yang memutar sebuah film tentang kehidupan kakek buyut kita. Duduklah, bayangkan saja kalau kursinya berwarna biru, empuk, lengkap dengan popcorn di tangan kiri dan minuman kola di tangan kanan kita.

Ah, Ternyata... baru saja layar besar itu mulai memperlihatkan filmnya. Diri ini sudah ingin sekali beranjak dari sana. Betapa tidak di film itu kakek buyut kita terlihat begitu merana, mereka begitu sulit tuk mendapat sesuap nasi. Di bumi yang kaya ini, mereka justru menderita dalam kemiskinan. Dan lihat kawan, mereka tidak bebas seperti kita, mereka hidup terkungkung. Terjajah. Mereka dipaksa bertani di tanah sendiri, meski hasilnya nyaris tak ada yang masuk ke perut mereka. Mereka, kakek buyut kita, tidak menghirup nafas kebebasan, melainkan nafas yang tercekat di dalam belenggu perbudakan. Padahal jelas, mereka, kakek buyut kita, bukanlah bangsa budak. Dan bukankah setiap manusia dicipta Tuhan sebagai insan merdeka? Namun lihatlah kawan mereka tengah hidup tertekan di tengah suara cambuk dan letupan bedil.

Masihkan engkau duduk disampingku kawan? Aku mengerti jika engkau ingin segera beranjak pergi. Akupun rasanya begitu. Tapi cobalah kita tinggal lebih lama lagi. Melihat kisah yang dihadirkan layar dihadapan kita.

Film ini sunguh menghadirkan sejarah masa lalu, ketika itu kakek buyut kita, kakek buyut Indonesia. Hidup sepenuhnya dalam kesederhanaan. Tapi ternyata, mereka punya mimpi yang tidak sederhana. Mimpi itu adalah “merdeka” . Maka di tengah kepapaan nan bersahaja. Demi mimpi yang membungbung tinggi. Mereka ke hutan. Mencabut bambu dari tanah kemudian meruncingkan ujung-ujungnya. Mereka siap untuk menyabung nyawa. Mereka akan berjuang melawan penjajah. Memperjuangkan mimpi merdeka.

Hmm.. tiba-tiba saja di daam benakku muncul pertanyaan: Seberapa pentingkah mimpi “merdeka” itu bagi mereka? Ah tidak, terlalu abstrak. Pertanyaan yang sesungguhnya. Untuk siapa kakek buyut kita mempertaruhkan nyawanya?


Dan ketika mereka yakin ujung tombak-tombak bambu mereka telah runcing. Mereka terjun ke kancah pertempuran. Meski sepertinya mereka telah tahu. Peluru-peluru senapan kan menembus tubuh mereka sebelum ujung tombak-tombak itu membelah dada musuh.

Diri ini kembali bertanya: Jika mereka tahu tak kan berhasil, mengapa masih berjuang juga? Nyumbang nyawa? Ah sejarah terkadang menghadirkan kisah yang lucu.


Tapi tak lama aku tersadar kawan. Nampaknya jiwa kakek buyut kita tidak sekedar berisi keberanian, namun juga sifat bijak bestari. Mereka mungkin telah sadar. Mimpi sebuah bangsa adalah mimpi jangka panjang. Mimpi yang berlanjut dari generasi ke generasi. Maka meski mereka tahu demi mimpi itu mereka akan mati. Mereka yakin mimpi mereka akan terus hidup dan terwariskan ke generasi selanjutnya. Meski jasad mereka mati. Namun semangat mereka kan terus hidup tuk menyalakan semangat jiwa-jiwa yang lain.

Mungkin karena itu pula bangsa kita mengenal sebuah kalimat indah..

~ gugur satu...tumbuh seribu~





Bersambung.....
READ MORE - Bioskop Dalam Khayalan
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS